Senin, 17 Desember 2012

AKSI: masihkah dalam jalurnya?

kami berjuang demi rakyat Teriakan itu masih teringat di otak saya. Saat itu, saya terjebak di depan kendaraan yang 'diparkir' oleh segelintir mahasiswa. Hari itu hujan deras, depan saya ada perempuan dengan setelan anak kuliahan - sama seperti saya - yang berusaha mencari celah. Ketika mendapat celah, bukannya lolos ke jalan depannya, justru seorang lelaki yang memakai PDH dengan gagahnya memarkirkan kendaraan lain di celah tersebut sehingga jalan semakin 'buntu'. Namun saya justru mendapatkan celah dan meneruskan jalan saya tanpa dihalangi. Saya pikir hanya dia dan beberapa orang yang dapat dihitung jari - berdiri dan berteriak 'atas nama rakyat' di atas truk - yang ikut dalam aksi tersebut. Ternyata masih banyak teman-teman aktivis yang ikut dalam aksi itu, dan tahukah dimana mereka berdiri? Di bawah tenda di tengah jalan yang saya yakini juga 'dipinjam' karena tenda tersebut merupakan tenda salah satu produk trademark di Indonesia. Esok harinya ketika saya hendak berkunjung ke tempat pembuangan akhir sampah di kota saya untuk membicarakan program Himpunan saya, kami (saya dan ketua umum) kembali tersendat karena aksi. Kembali sebuah truk dan beberapa motor terparkir yang melumpuhkan transportasi. Mereka mungkin tidak tahu bahwa program yang ingin kami bincangkan di lokasi tujuan kami adalah program peduli masyarakat. Entahlah. Demi rakyat? Saya bahkan melihat dosen saya yang hendak mengajar terhambat mobilnya, buntu. Dosen mengajar sama halnya seperti guru yang membagi ilmunya dan orang tua yang mendidik kita, sebandingkah ilmu yang akan dituangkannya kepada mahasiswa haus ilmu dengan teriakan kita? Demi rakyat? Bahkan saya sendiri setelah berdiskusi dengan ketua saya tertawa ketika mendengar objective aksi tersebut adalah melumpuhkan transportasi. Apakah melumpuhkan transportasi bisa dikatakan sebagai aksi demi rakyat? Bahkan simpati mereka saja berubah menjadi antipati. Saya sendiri adalah wakil ketua di himpunan jurusan saya, saya bahkan tidak banyak memberi kontribusi. Saya bahkan tidak pantas memberikan judgement subjektif saya. Tapi saya meyakini satu hal, tugas social control mahasiswa akan menjadi paradoks dengan aksi hiperaktif kita. Bukannya kita telah mengerti arti GLOBAL WARMING? Saya tidak tahu, berapa persenkah keikutsertaan asap hitam mengepul dari ban karet terbakar di aspal jalan terhadap global warming. Wallahu alam. Sebagai aktivis, kita seharusnya peka terhadap keadaan di sekitar. Begitu banyak pengemis karena kotornya perilaku segelintir orang yang menyelundupkan dana demi perut buncitnya. Tapi bukankah metamorfosis sempurna juga dinamakan perubahan? Memulai dari telur yang kecil, ulat yang menggeliat, kepompong yang merenung, hingga kupu-kupu yang indah? Begitu banyak pengemis, tapi berapa aktivis yang memutar arah kendaraannya ketika sadar bahwa mereka melewati orang yang haknya mereka perjuangkan namun memberi sepeser uang saja mereka lupa? Dan berapa banyak pengguna jalan yang tidak berteriak di jalan tapi tetap memberikan sebagian uangnya sembari tersenyum kepada pengemis yang berterima kasih kepadanya dan mendoakan keberhasilannya? Saya kagum akan mahasiswa Indonesia yang dulu berhasil menggulingkan pemerintahan demi rakyat, sebuah perang antara Daud dan Jalut, sebuah perang melawan tirani. Sekarang, mampukah kita melawan diri sendiri?