Selasa, 08 Maret 2011

Aku Bukan Fiksi

Di depan sebuah pintu aku terdiam. Aku seakan tidak punya tenaga untuk membuka pintu kamarku sendiri. Akhirnya aku hanya bisa bersandar di daun pintu kamarku. Aku kemudian mencoba mengingat kembali siapa diriku sebenarnya.
Aku adalah seorang mahasiswa yang telah melalui hampir semua jalan dalam kehidupan. Aku seorang aktivis kampus, kutu buku, seorang senior yang tidak beda dengan senior lainnya. Aku mengerti akan keadaan si kutu buku yang terus tertekan dengan semua tugas-tugas perkuliahan. Aku mengerti dengan keadaan si pujangga cinta yang terus mengarungi kisah percintaannya selama kuliah. Aku aktif dalam acara tawuran yang seakan menjadi rutinitas di kampusku. Aku mengerti dengan sang penegak hak mahasiswa yang terus berteriak tak kenal lelah demi turunnya biaya perkuliahan. Bahkan aku mengerti keadaan para mahasiswa yang merelakan kehormatannya demi mereka yang tak ingin ditinggalkan oleh yang mereka sayang.
Sedikit bercerita, aku adalah seorang mahasiswa yang benar-benar senior. Usiaku sekitar 24 tahun, tidak terlalu mengherankan untuk mahasiswa yang telah menjalani studi sekitar tiga belas semester. Akhir-akhir ini terasa mencekam, kredit-kredit masih banyak yang menunggu. Entah siapa yang salah, yang pasti bukan karena aku yang bodoh.
Selama di SMA, aku adalah the big ten dari sekolah non-unggulan. Aku cukup bangga dengan hal tersebut. Bahkan saat SD hingga SMP aku terus menjadi tiga besar di sekolahku. Salah satu yang menjadi kebanggaanku adalah keaktifanku dalam lomba-lomba selama sekolah. Akulah yang paling aktif selama proses belajar-mengajar. Namun sebuah ironi di dunia pendidikan, aku meraih juara yang lebih banyak ketika SMP saat peringkatku justru menurun. Aku menjadi juara pada lomba-lomba selama SMP. Dan yang termasuk hebat adalah saat UAN, aku lulus dengan peringkat terbaik di sekolahku.
Aku terus mencoba menggali masa laluku. Kubaringkan tubuhku yang lelah dikamarku. Sebuah kamar yang kujadikan pelindung hujan dan panas selama kuliah. Sambil tertawa kecil, aku berpikir betapa hebatnya prestasiku selama SD dan SMP.
Kehidupanku berubah saat memasuki SMA, aku mulai benar-benar merasakan ironi. Aku lolos dalam olimpiade sains biologi hingga tingkat provinsi dengan poin yang menjanjikan. Itu adalah prestasi tertinggi yang pernah kuraih. Aku juga telah mencapai tiga besar lomba pidato bahasa inggris tingkat provinsi dan lomba debat tingkat provinsi. Namun kenyataannya, keberhasilan prestisius itu tidak berguna bagi nilai-nilai mata pelajaran di sekolahku. Aku akhirnya hanya bermain dalam sepuluh besar selama SMA.
Aku terus aktif dalam kegiatan OSIS selama SMA. Tidak ada satu pun rapat dan sidang yang kulewatkan. Padahal posisiku hanyalah anggota seksi, tapi aku merasa bertanggung jawab untuk terus aktif dalam organisasiku. Di sinilah aku bertemu dengan pacar pertamaku yang tidak bisa kupertahankan.
Aku tertidur dalam lamunanku. Namun setelah dua jam dalam pulau mimpi, aku terbangun oleh alarm handphone yang terus berbunyi seakan ingin mengingatkan aku tentang kuliah sore ini. Kuliah yang berat karena diadakan pada jam tidur siangku. Tapi aku harus tetap mengendarai motorku ke kampus walaupun dalam keadaan malas. Di jalan, handphone dalam kemejaku berbunyi, sepertinya sebuah pesan singkat. Aku kemudian membaca sms yang ternyata dari pacarku sambil mengendarai motor. Katanya ada yang penting yang ingin dia katakan. Aku kemudian menancap gas motorku demi gadis yang telah berpacaran denganku sejak awal kuliah itu.
Aku tiba di kampus yang mulai sepi. Dalam kelas hanya ada pacarku dan sebagian temanku yang kutu buku. Kami mulai pembicaraan kami dengan sedikit berbisik, itu yang diminta pacarku. Dia mengatakan bahwa dia sudah telat menstruasi selama tiga bulan. Dunia seakan runtuh, aku terus memintanya untuk tidak bercanda mengenai hal yang seperti itu. Kemudian dia menunjukkan tes kehamilan dengan dua garis merah kepadaku. Sepertinya aku melakukan fertilisasi saat making love dengan pacarku. Kulalui kuliah sore ini dengan perasaan yang aneh. Padahal kami melakukan ML karena rasa sayang kami. Dia memberi segalanya agar aku tidak meninggalkannya. Tapi kenapa sepertinya ada hal yang menakutkan di hadapanku saat ini.
Aku pulang dengan segera saat mata kuliah membosankan itu selesai. Tidak seperti hari-hari lainnya, kali ini aku tidak pulang dengan pacarku. Aku butuh udara yang lebih banyak, dadaku sepertinya sesak dengan kejadian sebelum mata kuliah tadi. Aku melaju kencang entah ke mana, hatiku hanya ingin pergi jauh dari masalah baru ini. Tiba-tiba motorku menabrak mobil yang berlawanan arah. Semuanya pun mulai gelap.
Aku terbangun di rumah sakit. Di sampingku kananku ada pacarku, dan teman dekatku yang selalu menemaniku memukuli orang lain. Mereka adalah batu karang yang pemberani, seorang ksatria yang tidak takut apapun. Sejenak aku sadar bahwa di samping kiriku ada teman-temanku para aktivis kampus yang selalu menemaniku berteriak kepada birokrasi akan semua kebijakan mereka. Dan ada beberapa kutu buku yang biasa menemaniku belajar. Semuanya datang menjengukku.
Aku teringat kembali akan kebengisanku sebagai senior yang memukuli dan menindas juniorku serta orang-orang yang tidak kusukai. Aku dengan mudahnya memainkan peran sebagai puncak piramida kesenioritasan. Aku juga ingat saat kami membakar gedung kampus sebagai wujud protes kami terhadap birokrasi. Aku dengan bangganya mengatasnamakan penolakan terhadap penindasan terhadap tingkah kami yang menindas infrastruktur kampus. Aku bahkan berani menungkapkan rasa sayangku lewat nafsu. Aku yang seharusnya telah lulus sebagai wisudawan terbaik justru jatuh dalam lingkaran setan yang kubuat sendiri.
Aku berpikir seandainya semua bisa terulang. Seandainya aku tidak bertingkah sebagai senior yang gila hormat, mungkin saja sekarang aku telah mendapatkan pekerjaan yang membanggakan. Aku berpikir seandainya saja aku lebih menghormati pemimpin, mungkin saja sekarang aku telah menjadi salah seorang wisudawan terbaik di universitasku. Dan andai saja aku tidak lancang mengatasnamakan cinta untuk melampiaskan nafsuku, mungkin saja orang yang kusayangi tidak akan menangisi semuanya.
Penyesalan selalu datang belakangan. Banyak teman-teman kita yang merasakan hal yang lebih buruk lagi. Mereka terjerumus dalam gaya hidup kampus yang salah. Mereka bahkan menjadi pengedar, pembunuh, dan sebagainya. Aku yang kuceritakan mungkin saja bukan fiksi. Aku bahkan sudah banyak dalam kehidupan dan semoga tidak menjadi diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar